JUBI ? Mau merdeka atau otonomi, persoalan Papua belum lari jauh dari masalah buta aksara Latin. Alih-alih menuntaskan, sejumlah pihak malah saling tuding.
Menurut James Modouw dari Dinas Pendidikan dan Olahraga Propinsi Papua, orang yang paling banyak buta aksara ada di Kabupaten Pegunungan Bintang, Yahukimo, Asmat dan daerah-daerah lain Pegunungan Tengah.
Jika melihat angka per tahun, memang sempat terjadi penurunan meski tidak signifikan. Tahun 2005 misalnya, buta aksara di Papua mencapai 552.000. Angka tersebut berkurang, pada 2009 menjadi 230.000. Ini tentu menggembirakan. Untuk penuntasannya, pemerintah bahkan telah berencana tiap tahun akan menurunkan dana sebesar 6 miliar. Diambil dari APBD Provinsi Papua.
Nantinya digunakan untuk membangun taman bacaan, sosialisasi ke masyarakat serta untuk penyelenggaraan pelatihan pemberantasan buta aksara. Dari rencana ini, tahun 2014 nanti, Papua akan benar-benar bebas dari buta aksara. Namun akankah rencana tersebut bisa terwujud?
Memang buta aksara untuk pegunungan merupakan terbesar, hal ini disebabkan sulitnya transportasi ke daerah tersebut serta minimnya SDM untuk dimanfaatkan disana,? kata Modouw dalam sebuah acara di Hotel Mahkota, Jayapura, belum lama ini.
Menurut Modouw, tingginya penyandang buta aksara di Papua juga dipengaruhi oleh mobilisasi penduduk yang terus meningkat tiap tahunnya. Aktivitas ini menyebabkan pemda setempat sulit untuk memberantas buta aksara.
Pendapat Modouw sepertinya sejalan dengan mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Ace Suryadi, seorang yang pernah dililit kasus dugaan korupsi Rp. 1,7 miliar di Ditjen PLS/Pendidikan Nonformal dan Informal Depdiknas. Dalam sebuah kesempatan, Suryadi seusai pembukaan temu Nasional Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Aksara Intensif, mengemukakan, tingginya jumlah buta aksara telah menghambat program penuntasan wajib belajar sembilan tahun, juga pembangunan Indonesia. Tingginya jumlah penduduk buta aksara di Indonesia diakibatkan oleh masih banyaknya siswa usia sekolah dasar (SD) yang tidak bersekolah atau tidak tertampung di SD. ?Besarnya angka buta aksara ini diperparah oleh adanya sekitar 200.000-300.000 siswa putus SD kelas 1, 2, dan 3. Ini dikhawatirkan akan menjadi buta aksara yang terjadi setiap tahun. Hal ini kontribusinya sangat besar terhadap tingginya jumlah penyandang buta aksara,? kata Ace.
Upaya Penanganan
Buta aksara memang memicu pergerakan pembangunan menurun. Dalam beberapa kesempatan, Albert Gebze Mouyend, Wakil Ketua Lembaga Masyarakat Adat Malind Anim di Merauke pernah mengatakan, buta aksara di Papua, lebih dipicu pada buruknya guru dalam melaksanakan tugas. Bagi Mouyend, selayaknya hal ini diterima guru sebagai hukum karma. Jelaslah guru yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik tentu akan menghasilkan anak didik yang tidak bisa membaca.
Diwilayah selatan Papua, penyandang buta aksara, huruf dan angka terjadi di banyak tempat. Mappi, Asmat dan juga Boven Digoel. Di Boven Digoel, jumlahnya mencapai 15.000 orang. Padat buta aksara ini tersebar di 15 Distrik dan 88 Kampung. Salah satu penyebab besarnya angka buta aksara adalah anak putus sekolah yang tinggi. Mereka akhirnya diajar kembali di kelas 1,2,3 SD, Terdiri dari usia 7 hingga 44 tahun.
Kepala Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Boven Digoel, Martina Wombon pekan kemarin mengatakan, pihaknya telah berupaya untuk memberantas buta aksara. Namun butuh waktu yang sangat lama untuk menanganinya. Dalam Juli 2009, pihaknya bahkan turun ke 8 distrik untuk mensosialisasi perang terhadap buta aksara, huruf dan angka. 8 Distrik tersebut adalah Mandobo, Iniyandit, Fofi, Jair, Kouh, Bomakia, Subur, dan Arimop. Pemberantasan buta aksara diwilayah ini lebih difokuskan pada perempuan. ?Program sosialisasi pemberantasan buta aksara ini lebih difokuskan pada kaum perempuan, sehingga mereka pun dapat menjadi bisa,? ujarnya.
Gerakan pemberantasan buta aksara di Boven Digoel merupakan bagian dari memberantas buta aksara secara nasional. Ini juga dilakukan oleh Direktorat Jenderal PLS (Pendidikan Luar Sekolah). PLS dalam upayanya bertekad mengurangi jumlah penduduk buta aksara hingga tahun 2009 menjadi 5 % atau 7,7 juta jiwa. Pemberantasan diprioritaskan pada penduduk usia 10 tahun ke atas yang saat ini mencapai 15,4 juta orang atau 8,57 %. Dari jumlah itu, 4,4 juta di antaranya berusia 10-44 tahun. Salah satu pola penanganannya adalah melalui pendekatan kelompok belajar yang dilakukan secara berkesinambungan. Selain mengikuti pembelajaran, juga diberikan keterampilan. Sementara di Papua, pemberantasan buta aksara didukung melalui kearifan muatan lokal. Yaitu, diwajibkan setiap sekolah dasar untuk menggunakan bahasa ibu atau bahasa budaya setempat.
Tingginya angka buta aksara yang melanda Papua ternyata disesali Gubernur Papua Barnabas Suebu, SH. Dia prihatin dengan masih banyaknya Perempuan Papua yang tidak bisa membaca dan menulis. Keprihatinan Gubernur tersebut disampaikan dalam sambutan tertulis dibacakan Wakil Bupati Merauke, Waryoto, pada pembukaan Tutor Buta Aksara Perempuan dan Pelatihan Kepemimpinan Wanita, di Merauke.
Meski persoalan buta aksara hampir terjadi di semua Negara, namun kondisi tersebut sangat terkait dengan masalah kemiskinan, keterbelakangan dan ketidakberdayaan. Salah satu indikator sumber daya manusia adalah keaksaraan penduduk. ?Perempuan yang buta aksara yang sudah memiliki anak dan kelak menikah, menjadi ibu dari anak-anak akan mempunyai hambatan didalam proses kembang anak karena tidak memiliki kemampuan dalam memberikan pendidikan yang baik,? kata Suebu. Apalagi, berdasarkan hasil studi membuktikan buta aksara tersebut berpengaruh pada angka kematian bayi, ibu dan kualitas hidup.
Melek aksara, merupakan kunci penting untuk meningkatkan pendidikan, kesehatan, gizi dan kesejahteraan keluarga. Karena dengan melek aksara dan pendidikan, perempuan akan semakin berdaya, dapat mengambil keputusan sendiri dan mempunyai posisi tawar yang cukup kuat di dalam keluarga dan masyarakat. Karena pentingnya melek aksara tersebut, kata Suebu, diperlukan komitmen semua pihak baik pemerintah, organisasi kemasyarakatan, organisasi perempuan dan swasta serta semua lapisan masyarakat untuk meningkatkan keaksaraan perempuan.
Badan Pemberdayaan Perempuan Provinsi Papua memandang perlu meningkatkan kemampuan dan keterampilan memimpin menuju pemimpin perempuan yang berkualitas serta pendidikan tutor akasara perempuan untuk memberantas angka buta aksara perempuan dalam meningkatkan kualitas hidup perempuan,? katanya. Pelatihan tersebut diikuti 33 peserta dari 5 Kabupaten Merauke, Boven Digoel, Mappi, Asmat dan Pengunungan Bintang.
Buta aksara telah menjadi momok menakutkan bagi bangsa. Di Papua, jelaslah kata itu perlu ditangani dengan cepat. Jika angka penduduk buta aksara di Papua masih tertinggi secara nasional, 16,50 persen, tentu ini bukan main-main. Disini pentingnya melakukan peran yang bijak dari semua elemen agar tidak menjadi karma dikemudian hari.Papua masuk 10 besar Indonesia yang tinggi buta aksara. Selain Papua, juga ada Bali, Kalimantan Timur, Kalimatan Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, NTT, Banten, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat yang memiliki angka padat buta aksara hingga ribuan orang.
Comments are closed.